SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT
SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN
USHUL FIQIH MASA AWAL: MASA RASULULLAH SAW DAN MASA SAHABAT
B. PEMBAHASAN
1. Sejerah Perkembangan
Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Nabi dan Ciri-cirinya
a.
Sejarah Perkembangan
Fiqih Pada Masa Rosulullah dan Ciri-cirinya.
Pada Masa Rasulullah
adalah masa fiqh Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam
perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah Al-quran (wahyu Ilahi
yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia). Tentang
sunnah Rasul adalah berdasarlkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau.
Demikian juga segala tindak-tanduk Nabi SAW. Selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi,
dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Masa ini walaupun berusia tidak panjang, namun
masa inilah yang meninggalkan bekasan-bekasan dan kesan-kesan serta pengaruh
yang penting bagi perkembangan hukum islam dan masa yang kulli yang bersifat
keseluruhan dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan
hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nashnya.[1][10] Masa Nabi SAW ini
terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu
periode Makkah dan Periode Madinah.
1)
Periode Makkah
Periode pertama ialah
periode Makkah, yakni selama Nabi SAW menetapkan dan berkedudukan di Makkah,
yang lamanya 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi
hingga beliau berhijrah keMadinah. Dalam masa ini umat islam masih sedikit dan
masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai suatu umat yang mempunyai
kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan Tauhid kedalam jiwa
masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan mereka dari
memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa
gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi SAW.
Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu tidak ada di dalam surat
Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan Al Furqon.
Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah
kepercayaan, akhlak dan sejarah.[2][11]
2) Periode Madinah
Periode kedua ialah
periode Madinah, Yakni masa Nabi SAW telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi
menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya. Dalam masa inilah umat
Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus bertambah. Namun
dalam Periode Makkah hampir tidak didapatkan indikasi yang berarti, karena masa
ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam.
Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah
di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga
indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.[3][15] Selanjutnya suatu hal
yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya
ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum (ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat
hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan
secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Nabi memberikan penjelasan dengan
ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah
hukum-hukum yang bersifat amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber
kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.[4][16]
Fiqih adalah hasil
penalaran seseorang yang berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum
amaliah yang dihasilkan dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad.
Apabila penjelasan dari Nabi yang berbentuk sunnah itu merupakan hasil
penalaran atas ayat-ayat hukum, maka apa yang dikemukakan Nabi itu dapat
disebut Fiqh atau lebih tepat disebut “Fiqh Sunah”. Kemungkinan Nabi melakukan
ijtihad dalam menghasilkan Sunnahnya diperselisihkan para ulama. Perbedaan
pendapat itu berpangkal pada pemahaman dalam Q.S Al Najm ayat 3-4 yang artinya
“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” Ada
ulama yang memahami ayat, ini secara umum, bahwa semua yang diucapkan Nabi
dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat hukum atau bukan adalah atas dasar
wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya bahwa yang dimaksud ayat itu adalah
ayat-ayat al-quran yang diterima Nabi dan disampaikannya kepada umatnya, itulah
yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang muncul dari lisan Nabi disebut
wahyu.[5][17]
b.
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Pada Masa Rasulullah dan
Ciri-cirinya.
Pertumbuhan Ushul Fiqh
tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak Zaman Rasulullah SAW, sampai
pada masa tersusunnya Ushul Fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2
Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya ada
sua , yaitu Al-Qur;an dan Assunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW
menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu
tidak turun maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melaiu sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadist dan sunah. Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama
dengan ilmu fiqh, meskipun ilmu fiqh dibukukan lebih dulu dari ilmu Ushul Fiqh.
Karena dengan timbulnya ilmu fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali
ilmu tersebut.dan metode ini tak lain adalah ilmu Ushul Fiqh. [6][24]
Ushul Fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari Fiqh adalah Ushul
Fiqh, berarti Ushul Fiqh itu asas atau dalil Fiqh yang diambil dari Al Qur’an
dan Sunnah. Ushul Fiqh ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
اَمَّا عِلْمُ اُصُولِ
الفقه فَلَم يَنشَاء الأ في القَرنِ الثاني الهِجرِى, لانه ف القرن الجهرى الاولِ
لم تَدَع حَا جَةً اليه فاالرسولُ كان يفتى ويقضى بما يوحى به اليه ربُّهُ من
القرن بما يَلهِمُ به من السُّنَنِ
“Mengenai ilmu Ushul Fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke 2 H. Ilmu
tersebut, pada abad pertama Hijriyah memang tidak diperlukan lantaran
keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu
hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau”.[7][25]
Sumber hukum pada masa
Rasulullah SAW, hanyalah Al-Qur;an dan As Sunnah ( Al-Hadist). Pada masa itu di
temui sunnah-sunnahnya yang memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad.
Misalnya beliau melakukan Qiyas terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khatab
RA, sebagai berikut:
صَنَعتُ اليوم يا رسول الله امرًا عَظِيمًا
قبّلت وانا صاءمٌ , فقال له رسول الله صلي الله عليه وسلم ارايت لو تمضمضتَ بماءٍ
وانت صاءم , فقلت لا بأس بذا لك فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : فصم
“Wahai Rasulullah, hari ini
saya telah berbuat suatu perkara yang besar, saya mencium istri saya, padahal
saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah bersabda kepadanya : Bagaimana
pendapatmu, seandainya kamu bekumur-kumur dengan air dikala kamu sedang
berpuasa ? Lalu saya menjawab : tidak apa-apa dengan yang demikian itu.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Maka tetaplah kamu berpuasa.”
Pada hadist diatas Rasulullah
SAW menetapkan tidak batal puasa seseorang karena mencium istrinya dengan
mengqiyaskan kepada “tidak batal puasa seseorang karena berkumur-kumur”. Cara
Rasulullah dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu
Ushul Fiqh. Karenanya para ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa Ushul Fiqh ada
bersamaan dengan hadirnya Fiqh, yaitu sejak zaman Rasulullah. Penetapan hukum
pada masa Rasulullah SAW dapat secara langsung mengambil dari AL-Qur’an yang
diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya
yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Disamping itu beliau juga berijtihad
dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya dilakukan secara
naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang
dijadikan sebagai pedoman dalam mengistimbatkan hukum. Pada masa Rasulullah
SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab
RAsulullah SAW dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung
hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.[8][26]
Rasulullah SAW adalah seorang
manusia juga, sebagaimana manusia lain pada umumnya, maka hasil ijtihadnya pun
bisa benar dan bisa salah, sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau
bersabda :
انما أنا بشرٌ فما حدثكم
عن اللهِ فهو حقٌّ , وما قلت فيه من قبل نفسى فانما أنا بشرٌ أُخطىءوأصيبُ
“saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan
kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar, dan segala yang saya katakan
dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah
dan bisa benar.
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah , Allah menurunkan wahyu
yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang benar.
Sebagai contoh hasil beliau tentang
tindakan yang diambil terhadap tawanan perang Badar. Dalam hal ini beliau
menanyakan terlebih dahulu kepada para sahabatnya. Menurut Abu Bakar agar mereka
(para tawanan perang Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan
menurut Umar bi Khattab, mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan
dan mengusir Rasulullah SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau
memilih pendapat Abu Bakar. Kemudian turun ayat Al-Qur’an yang tidak
membenarkan pilihan beliau tersebut dan menunjukkan kepada yang benar, yakni:
ماكان لنبىّ ان يكون له
أسرى حتى يثخن فى الأرض , تريدون عرض الدنيا , والله يريد الأخرة , رالله عزيز
حكيم.
“tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat ( untukmu). Dan Allah Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.[9][27]
Jika terhadap hasil Ijtihad
Rasulullah SAW tersebut tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkan dan
menunjukkan kepada yang benar, berarti hasil ijtihad beliau itu benar, dan
sudah barang tentu termasuk kedalam kandungan pengertian As Sunnah( Al-Hadist).[10][28] Dari penjelasan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari sejarah perkembangan Ushul Fiqh
pada Masa Rasul adalah bahwa Pada Masa itu Rasulullah
berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan-kepetusan dalam masalah-masalah
yang dihadapkan kepada Rasul atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap
suatu pertanyaan. Khittah atau jalan yang diikuti Rasul dalam menetapkan hukum
ialah menanti wahyu. Apabila wahyu tidak datang, Nabi pun berpendapat bahwa
Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi
sendiri, maka Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah.
kemaslahatan dan permusyawaratan.[11][29]
2. Sejerah Perkembangan
Fiqh Dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan Ciri-cirinya
a. Sejerah Perkembangan
Fiqh dan Ushul Fiqh pada masa Sahabat dan
Ciri-cirinya
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah
SAW sampai akhir abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah
meluas hingga meliputi: Syria, Yordania, Mesir, Iraq dan
Persia, yang mengakibatkan
adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan
apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum ditandai dengan penafsiran
para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.[12][30]
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu
terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar
karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini
disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak
saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka
beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang,
tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu
Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada
Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada
pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak
dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah
dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai kepada kita sekarang.[13][31]
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah
tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk
menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan
bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak
dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan
ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu
kitab, akibat tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf
pada permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti
keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadist
serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya
perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.[14][32]
Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya
ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki
kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,
peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di
luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya.
Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur
(bea cukai barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin
Khatab. Adapun cara berijtihad
para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an,
apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru berijtihad
dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad jama’i.
Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini
kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab
misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu : ”Musyawarah yang bersifat
khusus dan musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus
beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun
musyawarah yang bersifat umu dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang
dikumpulkan di Mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting.[15][33]
Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya
ijtihad para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak
berkaitan secara langsung dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan
masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam
masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya
para sahabat berijtihad. Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber
hukum yaitu Al-Qur’an, Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan
ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.[16][34]
Ciri khas yang menonjol dalam
perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah sebagai berikut:[17][35]
1. Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada
problem-problem aktual yang terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat
hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh
al-waqi’I (fiqih realistik).
2. Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang
harus diikuti dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat
catatan atas ketetapan hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka
menghargai kebebasan pendapat tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah
Rasul.
3. Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi
dalam penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan
oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang ikhtilaf maupun
perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat tetap
menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4. Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum
sebelumnya. Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan
hukum tersebut dan atau adanya perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini
adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi
muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan
muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah
kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah,
pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali
pernyataan talaq. Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali
tersebut dianggap jatuh talaq tiga.
5. Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad
berada di tangan khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat
bagi khalifah sesudahnya. Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari
khalifah sebelumnya. Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi
peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr
dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi
80 kali cambuk.
Periode
Tabi’in Dan Imam Mujtahid
Masa
tabi’in dimulai dengan munculnya dua aliran yang terkenal fiqh yaitu abl
Al-hadist dan abl Al-ra’yi. Ahl-al-hadist adalah kelompok yang menetapkan hasil
ijtihad mereka lebih banyak menggunakan hadis nabi dibandingkan dengan ijtihad.
Kelompok ini lebih banyak tinggal diwilayah Hijaz khususnya mekah dan madinah.
Ahl-al-ra’yi
yaitu kelompok yang lebih banyak menggunakan ra’yu ( pikiran) dari pada hadis.
Kelompok ini lebih banyak tinggal di wilayah irak, khususnya kufah dan basrah.
Masing-masing kelompok mempunyai madrasah untuk mengembangkan fiqh mereka
masing-masing. Ahl hadis punya dua madrasah yang terpenting yaitu madrasah
madina pengah dan mekah. Dari madrasah madinah dan mekah ini muncul para
fuqaha’ besar seperti said ibnu musayyab. Mujtahid besar yang juga merupakan
produk dari madrasah ini adalah malik ibn Anas yang kemudian terkenal
dengan imam malik yang pada akhirnya diikuti oleh banyak pengikutnya sehingga
menjadi suatu mazhab yaitu mazhab malikiyah.
Ahl-al-ra’yi
juga punya dua madrasah yang terkenal yaitu madrasah kufah dan madrasah basrah.
Kelompok ini pertama dipelopori oleh Ibrahim an-nakhai. Seorang mujtahid dari
empat imam mazhab yang muncul dari sini adalah Imam Abu Hanifah dengan
pengikutnya yang terkenal dengan sebutan mazhab Hanafiyah. Pada pertengahan
abad kedua Hijrah hadir seorang fuqaha yang sangat terkenal di seantero dunia
islam yaitu Abu Abdillah Muhammad ibnu Idris al-syafa’I atau yang lebih dikenal
dengan Imam Syafi’I dari imam yang terdahulu adalah usahanya dalam
menggabungkan dua metode berpikirbyang sudah ada sebelumnya.
Imam
Syafi’I pernah berguru langsung dengan imam malik dari kelompok ahl hadis, juga
menimba ilmu dari Muhammad ibn Husain al-Syaibani ( murid Abu Halifah ). selain
itu ia pun mendalami fiqh ulama mekah. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan dan
pengetahuannya yang luas inilah kemudian Imam Syafi’I mencoba untuk membuat
pedoman atau kaedah berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus
dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum. Metode berpikir yang sudah
dirumuskan oleh Imam Syafi’I itulah yang kemudian disebut dengan “ Ushul Fiqh”.
Komentar
Posting Komentar